Dua pekan sudah putaran pertama pemilihan gubernur DKI
Jakarta berlalu. Pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama yang
didukung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra keluar sebagai pemenang
diikuti sang incumbent Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli.
Kedua pasangan ini akan bertemu kembali pada putaran final tanggal 20 September nanti.
Terlepas dari hasil putaran pertama, Guru Besar Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Bahtiar Effendy, menilai ada dua
keanehan dalam pemilihan yang diikuti enam pasang cagub-cawagub
tersebut.
Pertama, bagaimana mungkin pemilih harus merupakan
warga Jakarta yang dibuktikan dengan kepemilikan KTP Jakarta. Sementara
di antara kandidat yang dipilih ada yang bukan merupakan warga Jakarta
dan tidak memiliki KTP Jakarta.
"Ini kan di luar akal sehat,"
ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Hidayatullah itu di ruang kerjanya, Jumat siang (27/7).
Keanehan kedua, masih menurut Bahtiar Effendy, berkaitan dengan
pertanggungjawaban moral kandidat-kandidat yang meninggalkan pos politik
terdahulu mereka untuk memperebutkan kekuasaan di Jakarta.
Hal ini dilakukan oleh Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, Walikota
Solo Joko Widodo dan anggota Komisi II DPR RI Basuki Tjahja Purnama
alias Ahok yang karena dicalonkan Partai Gerindra akhirnya meninggalkan
Partai Golkar yang mendukungnya di Pemilu 2009.
"Kalau
demokrasi dipraktikkan dengan cara seperti ini akan rusak. Karena Alex
Noerdin, Jokowi dan Basuki punya kontrak politik dengan para pemilih
mereka, dan mereka meninggalkannya," ujar Bahtiar Effendi lagi.
"Pertanggungjawaban legal memang tidak ada karena UU tidak melarang.
Tetapi pertanggungjawaban moralnya mana? Kalau dibiarkan, format
demokrasi kita akan rusak semua," demikian Bahtiar Effendy.
moral politik jokowi-ahok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar